Selasa, 08 Juni 2010

Mencari sumber masalah pada Peugeot 405 STi

Pendapat bahwa pembeli mobil bekas harus siap menghadapi masalah lanjutannya mungkin benar. Saya mengalaminya pada Peugeot 505 GR 1983 dan 1986, terutama bagian mesin. Namun masalah keduanya bisa diatasi dengan sangat memuaskan, sekaligus menambah pengetahuan tentang karakteristik mesin Peugeot 505 GR. Namun lain lagi pengalaman dengan seri 405 STi 1996. Tetapi pada dasarnya, untuk mengatasi masalah diperlukan kesabaran, kreativitas, dan motivasi belajar.

Pertama kali menggunakan 405 STi terasa gejala mesin tersendat di tanjakan ringan. Saat itu mobil sudah berjalan kurang lebih 1 jam, diselingi kemacetan lalu lintas. Pada 505 GR, gejala ini biasanya disebabkan kekurangan pasokan bahan bakar ke karburator, karena pompa bahan bakar kurang berfungsi normal.

Setelah mobil dipinggirkan, mesin dinyalakan kembali, lalu akselerator (pedal gas) diinjak penuh, namun mesin tetap tersendat-sendat. Akhirnya mesin dimatikan kurang lebih 30 menit. Setelah itu dinyalakan kembali dan mesin tidak tersendat lagi. Langsung menuju ke bengkel langganan khusus Peugeot di Jl. Karapitan Bandung. Sampai di sana mesin tetap dinyalakan sampai muncul gejala tersendat. Setelah diperiksa oleh mekanik, ternyata dugaan saya benar, pompa bahan bakar tidak berfungsi normal. Analisis mekanik, setelah bekerja beberapa lama, pompa menjadi panas hingga akhirnya tidak cukup kuat memompa bahan bakar. Pompa bahan bakar diganti dengan pompa baru merk Pierburg seharga Rp 1 juta. Masalah terselesaikan.

Kira-kira 1 bulan berikutnya muncul gejala lain. Mesin 405 STi saya menunjukkan gejala idle nge-drop, lalu mati saat memindah gigi percepatan (versnelling). Mengingat gejala serupa pada mesin Peugeot 505 GR 1983 dan 1986, biasanya masalah terletak pada sistem bahan bakar, antara lain karburator, filter bahan bakar, dan pompa bahan bakar. Bisa jadi karena karburator tersumbat kotoran. Solusinya gampang saja, bongkar karburator, lalu bersihkan dengan carburetor cleaner, selesai.

Pada mesin 505 GR yang konvensional, mencari sumber masalah masih bisa dilakukan dengan peralatan sederhana. Namun pada jenis mesin 405 STi yang dikendalikan oleh ECU (Electronic Control Unit) atau unit pengendali elektronik, mencari sumber masalah tidak bisa dengan cara "konvensional". Diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosa dan mencari komponen-komponen yang tidak berfungsi.

Menghadapi masalah yang terakhir ini, saya terlebih dulu membaca berbagai pengalaman pemakai seri 405 di internet. Berbekal berbagai informasi tersebut, saya simpulkan sumber masalahnya adalah idle regulator. Padahal, bila mesin dinyalakan pada pagi hari, idle regulator berfungsi normal. Awalnya putaran mesin naik hingga RPM 1500, lalu turun ke RPM 1200, turun lagi ke RPM 1100, dan beberapa detik kemudian turun ke putaran normal RPM 850-900. Gejala ini juga saya konsultasikan dengan bengkel langganan, dan mereka mempunyai dugaan yang sama.

Idle regulator segera saya ganti dengan onderdeel baru merk Pierburg seharga Rp 575 ribu. Tetapi masalah belum terpecahkan. Akhirnya bengkel resmi Peugeot di Bandung menjadi harapan terakhir. Di sana diagnosa dan fault finding dilakukan dengan komputer dengan software khusus untuk Peugeot 405 STi.

Kabel data dari ECU disambungkan ke komputer, roda depan kiri didongkrak, mesin dinyalakan sambil masuk versnelling 1. Komputer melakukan pembacaan status setiap komponen. Muncul tulisan di layar komputer sebagai berikut: (1) Intermittent fault Vehicle Speed Sensor function; (2) Intermittent fault Throttle Potentiometer function. Dua komponen itu diduga tidak berfungsi oleh komputer. Namun mekanik menyatakan bahwa bila dilihat dari fakta mesin masih bisa idle secara normal, maka dugaan terkuat ada pada VSS (Vehicle Speed Sensor).

Saya tanyakan harga VSS di bengkel resmi, ternyata cukup mahal sekitar Rp 750 ribu, dan itupun tidak ready stock, harus memesan dulu ke Jakarta. Karena itu saya putuskan untuk mencari alternatif ke toko langganan. Di sana juga tidak ada stok VSS, namun mereka bisa memesankan, bahkan bisa mencarikan merk lain yang lebih murah dengan harga Rp 250 ribu. Walaupun toko langganan tidak berani menjamin kualitasnya, dengan tekad bulat saya pesan 1 unit. Dua hari berikutnya VSS merk Cogeva saya pasang. Kemudian mobil dijalankan sambil berdoa asal mesin tidak mati. Ternyata saat dijalan malah lebih dari harapan. Ketika memindah versnelling, putaran mesin turun sejenak di bawah RPM 1000, lalu naik ke RPM 1100 dan turun sedikit demi sedikit ke RPM 850. Masalah terpecahkan! Alhamdulillah sampai jarak lebih dari 8000 kilometer VSS "imitasi" masih berfungsi normal.

Senin, 07 Juni 2010

Sekilas Riwayat Kota Madiun

Pada 20 Juni 2010 Kota Madiun memperingati hari jadi ke-92 sebagai wilayah swapraja. Meskipun belum genap satu abad, perjalanan sejarahnya telah berlangsung selama lebih dari empat ratus tahun, melintasi masa pemerintahan Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang, Kesultanan Mataram, Hindia Belanda, pendudukan militer Jepang sampai Republik Indonesia.

Madiun dalam genggaman Pajang dan Mataram
Penaklukan Kerajaan Gagelang oleh Sultan Trenggana dari Demak pada tahun 1529, mengawali masa kekuasaan politik bercorak Islam atas wilayah Madiun. Gagelang dapat disamakan dengan Madiun sekarang. Saat ini terdapat sebuah desa yang bernama Glonggong di Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun. Nama desa itu boleh diduga sebagai perubahan bentuk kata dari Gagelang.

Kesuksesan penaklukan Gagelang berkaitan erat dengan kefanatikan dan semangat untuk menyebarluaskan agama Islam. Latar belakang tersebut mendorong kalangan sipil Demak, seperti alim ulama, perajin, dan pedagang untuk memasuki dinas militer atau membentuk kelompok-kelompok bersenjata. Para penghulu, yang berfungsi sebagai pemangku hukum syariat dan imam masjid, juga membentuk kelompok bersenjata. Keuntungan dari masuknya para kiai dalam dinas militer adalah hukum syariat dan fungsi imam masjid dapat segera dijalankan di daerah-daerah yang baru ditaklukkan. Boleh jadi hal ini yang melatarbelakangi pengangkatan Kiai Reksa Gati sebagai wakil Kesultanan Demak di Madiun. Selanjutnya Kiai Reksa Gati membangun pusat kegiatannya di sebuah tempat di tepi barat Kali Madiun, sekitar 3-4 Km dari Kota Madiun. Tempat itu dikenal dengan nama Sogaten, yang berarti kediaman Reksa Gati. Sekarang tempat tersebut merupakan bagian dari Kelurahan Sogaten, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.

Selama hampir 40 tahun lamanya Kiai Reksa Gati menjadi pengawas dan mensyiarkan agama Islam di wilayah Madiun. Ketika Sultan Trenggana wafat pada tahun 1546, timbul persaingan mengejar kekuasaan tertinggi di antara dua raja bawahan Demak, yaitu Raja Pajang, Jaka Tingkir (menantu Sultan Trenggana) dan Raja Jipang, Aria Penangsang (kemenakan Sultan Trenggana). Namun Kiai Reksa Gati tetap bersikap netral. Persaingan itu dimenangkan Raja Pajang. Selanjutnya Pajang menegakkan kekuasaan atas kerajaan-kerajaan bawahan Demak lainnya. Kerajaan bawahan atau lainnya yang menolak mengakui kekuasaan Pajang, ditaklukkan dengan kekerasan.

Pada masa kekuasaan Pajang inilah untuk pertama kalinya dibentuk pemerintahan kabupaten di wilayah Purabaya (secara kronologi, Purabaya adalah nama pertama yang digunakan untuk wilayah Kabupaten Madiun). Pada 18 Juli 1586 Sultan Pajang mengangkat adik iparnya, Pangeran Timur (putra bungsu Sultan Trenggana) sebagai Bupati Purabaya. Selain itu Bupati Purabaya juga merangkap jabatan sebagai Wedana Bupati Mancanegara Timur (pimpinan para bupati bawahan Pajang di wilayah timur). Berakhirlah tugas Kiai Reksa Gati sebagai pengawas wilayah Madiun.

Kekuasaan Pajang atas Purabaya berakhir ketika Mataram menguasai Purabaya. Awalnya Mataram merupakan wilayah kekuasaan Pajang. Ketika kepala daerah Mataram, Ki Gede Mataram wafat, dan kemudian Sutawijaya, salah seorang putra Ki Gede Mataram, ditunjuk sebagai pengganti oleh Sultan Pajang, Mataram mulai menunjukkan sikap ingin melepaskan diri dari kekuasaan Pajang. Bahkan Sutawijaya, yang mendapat gelar “Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama” dari Sultan Pajang, berambisi menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar. Senapati melakukan perlawanan terhadap Pajang, dan berhasil menduduki keraton Pajang pada tahun 1587. Sejak itu Mataram terus melakukan ekspansi ke kerajaan-kerajaan bawahan Pajang dan kerajaan-kerajaan lainnya.

Dalam eskalasi situasi menuju pecah perang antara Purabaya dan Mataram, Pangeran Timur menyerahkan kepemimpinan tentara Kabupaten Purabaya kepada anak perempuannya, Retno Dumilah. Di bawah pimpinan Retno Dumilah, tentara Purabaya bergabung bersama tentara sekutu dari eks-Mancanagara Timur, yaitu Kabupaten Surabaya, Ponorogo, Pasuruhan, Kediri, Kedu, Brebek, Pakis, Kertosono, Ngrowo, Blitar, Trenggalek, Tulung, Jagaraga dan Caruban.
Berkumpulnya pasukan eks-Mancanegara Timur di Purabaya tersebut dilatarbelakangi perubahan hegemoni politik Pajang pasca wafatnya Sultan Trenggana. Menjelang runtuhnya kekuasaan Pajang, kerajaan-kerajaan di Mancanegara Timur melepaskan diri dari Pajang menjadi kerajaan merdeka. Sementara itu Mataram aktif berekspansi hingga menguasai daerah Warung (Blora). Capaian Senapati di Blora membuat Purabaya merasa terancam, sedangkan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur melihatnya sebagai pangkal gerakan Senapati untuk menyerang Jawa Timur. Karena itu permintaan bantuan Bupati Purabaya kepada kerajaan-kerajaan di Jawa Timur untuk menghadang laju ekspansi, atau bahkan bila mungkin menghancurkan kekuatan Mataram, disambut baik. Terjadilah konsentrasi pasukan Jawa Timur di Madiun.

Di bawah pimpinan Retno Dumilah, pasukan gabungan Purabaya dan eks-Mancanegara Timur dapat melakukan pertempuran berlarut-larut. Namun dengan siasat yang lebih unggul, Senapati dapat mengalahkan mereka, dan Retno Dumilah menjadi tawanan.

Sebagai simbol kemenangan Mataram atas Purabaya, Senapati mengganti nama Purabaya menjadi Madiun pada 16 November 1590. Kemudian, untuk memperkuat legitimasinya atas Madiun, Senapati melakukan perkawinan dengan Retno Dumilah. Perkawinan politik itu menyebabkan derajat kebangsawanannya terangkat ke tingkat teratas karena menikahi cucu Sultan Trenggana.

Madiun dalam Kekuasaan Belanda
Pada masa pemerintahan Mataram, Kabupaten Madiun termasuk wilayah yang setia, tetapi antipati terhadap kekuatan asing (Belanda) yang ingin menguasai Jawa. Dalam sejarah, Madiun bersimpati pada perlawanan Trunojoyo terhadap Susuhunan Amangkurat I yang bekerja sama dengan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie/Perhimpunan Perusahaan India Timur), dan perlawanan Untung Suropati terhadap VOC.

Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755 memecah Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Kabupaten Madiun menjadi bagian dari wilayah Yogyakarta. Dalam periode pemerintahan Kesultanan Yogyakarta ini pecah Perang Diponegoro tahun 1825-1830. Kabupaten Madiun berpihak kepada Pangeran Diponegoro. Karena itulah seusai perang Kabupaten Madiun ditempatkan di bawah administrasi pemerintah kolonial Belanda, dan tidak lagi menjadi bagian dari Kesultanan Yogyakarta. Pada 1 Agustus 1830 dibentuk Keresidenan Madiun dengan wilayah meliputi Kabupaten Madiun dan bekas Mancanegara Timur.

Di tangan pemerintah kolonial Belanda, liberalisasi diberlakukan di Pulau Jawa. Modal asing memasuki Kabupaten Madiun, kebanyakan dalam sektor industri gula. Saat itu gula menjadi primadona komoditas ekspor karena harganya tinggi di pasar dunia. Kondisi ini mendorong orang-orang Eropa lainnya dari berbagai profesi datang ke Kabupaten Madiun, termasuk ke ibukota Kabupaten Madiun. Jumlah penduduk dan luas wilayah hunian di ibukota Kabupaten Madiun makin berkembang. Berbagai infrastruktur dan fasilitas kota dibangun. Lambat laun penduduk Eropa merasa memerlukan sebuah wilayah yang dapat dikelola secara otonom.

Nama Madiun sebagai Kabupaten dan Swapraja
Sejalan dengan keluarnya Undang-Undang Desentralisasi pada tahun 1903 dan Gemeente Ordonnantie (Peraturan Gemeente) pada tahun 1906, wilayah kota yang dihuni mayoritas penduduk Eropa dan telah memenuhi persyaratan tertentu, mendapat status Gemeente (kotapraja) yang setingkat dengan kabupaten. Beberapa persyaratan tersebut, antara lain memiliki wilayah yang tetap, penduduk cukup banyak, fasilitas yang dibutuhkan warga
kota telah terpenuhi, dan adanya penguasa yang dapat menyelenggarakan pemerintahan. Gemeente merupakan daerah otonom yang berhak untuk mengatur dan mengurus beberapa bidang yang berkaitan dengan urusan internal daerah.

Secara implisit pembentukan gemeente bertujuan untuk memelihara kepentingan orang Eropa, khususnya Belanda. Sebagai orang asing, mereka membutuhkan tempat yang disesuaikan dengan lingkungan asalnya dan memerlukan aturan yang khusus dalam sistem pemerintahannya. Dengan demikian gemeente dapat disebut sebagai een westerse enclave (sebuah kantong masyarakat Barat).

Pembentukan Gemeente Madiun ditetapkan Gubernur Jenderal J. van Limburg Stirum atas nama Ratu Belanda dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie (Lembaran Negara Hindia Belanda) nomor 326 tanggal 20 Juni 1918. Dengan demikian untuk pertama kalinya terbentuk pemerintahan swapraja Kota Madiun yang terpisah dari Kabupaten Madiun.

Pemerintahan Gemeente dipimpin Burgemeester (walikota). Namun karena jabatan Burgemeester belum dibentuk, maka pada awal berdirinya Gemeente Madiun dipimpin oleh Asisten Residen Madiun, Ir. W.M. Ingenluyff, dan dilanjutkan oleh Mr. De Maand. Pada tahun 1927 baru terbentuk burgemeester yang dijabat oleh Mr. R.A. Schotman sampai tahun 1932. Pada masa pendudukan tentara Jepang (1942-1945), status kotapraja dipertahankan, tetapi nama kotapraja diubah ke dalam bahasa Jepang menjadi “Syi”, sedangkan jabatan walikota disebut syicho. Status kotapraja ini dilanjutkan pada masa Republik Indonesia dengan beberapa perubahan nama, yaitu Kota Besar (UU No. 22 Tahun 1948), Kotapraja (UU No. 1 Tahun 1957), Kotamadya (UU No. 18 Tahun 1965), Kotamadya Daerah Tingkat II (UU No. 5 Tahun 1974), dan Kota (UU No 22 Tahun 1999).

Nama-nama kepala daerah Kota Madiun sejak masa Hindia Belanda sampai tahun 2010 adalah sebagai berikut:
1. Ir. W.M. Ingenluyff (Asisten Residen, 1918)
2. Mr. De Maand (Asisten Residen)
3. Mr. R.A. Schotman (Burgemeester, 1927 s/d 1932)
4. Mr. Boerstra (Burgemeester, 1932)
5. Mr. Van Dijk (Burgemeester) dan Ali Sastroamidjojo (Loco Burgemeester)
6. Dr. Mr. R.M. Soebroto (Syicho, 1942 s/d 1945)
7. Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo (Walikota)
8. Soedibjo (Walikota)
9. R. Poerbosisworo (Walikota)
10. Soepardi (Walikota)
11. R. Mochamad (Walikota, 1948 dari Divisi Siliwangi)
12. R.M. Soediono (Walikota)
13. R. Singgih (Walikota)
14. R. Moentoro (Walikota)
15. R. Roeslan Wongsokoesoemo (Walikota)
16. R. Soepardi (Walikota)
17. Soemadi (Walikota)
18. Joebagjo (Walikota)
19. R. Roekito, B.A. (Walikota)
20. Drs. Imam Soenardji (Walikota, 13 November 1968 s/d 19 Januari 1974)
21. Achmad Dawaki, B.A. (Walikota, 19 Januari 1974 s/d 19 Januari 1979)
22. Drs. Marsoedi (Walikota, 20 Januari 1979 s/d 20 Januari 1984)
23. Drs. Marsoedi (Walikota, 20 Januari 1984 s/d 20 Januari 1989)
24. Drs. Masdra M. Jasin (Walikota, 20 Januari 1989 s/d 30 Maret 1994)
25. Drs. Bambang Pamoedjo (Walikota, 30 Maret 1994 s/d 7 April 1999)
26. Drs. H. Achmad Ali (Walikota, 7 April 1999 s/d 29 April 2004)
27. Kokok Raya, SH, M.Hum. (Walikota, 29 April 2004 s/d 29 April 2009)
28. H. Bambang Irianto, SH, MM (Walikota, 29 April 2009 s/d 29 April 2014)

Sumber:
de Graaf, H.J dan Th.G.Th. Pigeaud. 1989. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa; Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Terjemahan Pustaka Utama Grafiti dan KITLV. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun. 1980. Sejarah Kabupaten Madiun. Madiun: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun.

de Graaf, H.J. 1985. Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati. Terjemahan Grafiti Pers dan KITLV. Jakarta: PT Grafiti Pers.

Pemerintah Kota Madiun. 2003. Buku Penetapan Hari Jadi Pemerintah Kota Madiun. Madiun: Pemerintah Kota Madiun.

Rabu, 02 Juni 2010

Menjelajahi dasar Ci Tarum purba

Ci Tarum sejak berabad-abad lalu berfungsi sebagai sistem transportasi masyarakat dari pedalaman Jawa Barat. Pada masa kini fungsinya "bertambah" sebagai saluran pembuangan limbah berbagai industri di selatan Kota Bandung. Air bercampur limbah ini mengalir hingga ke bendungan Saguling, untuk digunakan sebagai sumber pembangkit listrik PLTA Saguling. Air dialirkan melalui dua buah pipa pesat ke Power House yang terletak di dataran rendah.

Meskipun sudah mengalir jauh dan mengendap di bendungan, bau busuk masih tercium di sekitar Sanghyang Tikoro.

Pembangunan Bendungan Saguling bertujuan untuk penyediaan tenaga listrik. Di samping itu, ternyata ada manfaat lain yang tak ternilai bagi penggemar wisata alam, yaitu tersingkapnya sebuah segmen Ci Tarum hingga tampak dasarnya.

Dalam penjelajahan di dasar Ci Tarum bisa ditemukan berbagai pemandangan eksotis, seperti gua alam Sanghyang Poek, bongkahan-bongkahan batu, lubuk sungai (Sunda: leuwi), lubang-lubang batu akibat gerusan beratus tahun dan sebagainya.
Gua alam Sanghyangpoek (tampak muka)

Sisi selatan Sanghyangpoek
Memanjat dan melompati bongkahan-bongkahan batu lebih terasa seperti sport. Tidak terasa setelah berjalan sekitar 1 jam ke arah hulu, sampailah di Leuwimalang.
Leuwimalang
Meskipun sudah dibendung, segmen Ci Tarum ini tetap mendapat aliran air dari mata air di sekitarnya. Airnya bersih, bahkan bisa diminum langsung tanpa dimasak. Bila digunakan untuk mandi, jangan khawatir, kulit tak akan gatal-gatal.

Pengetahuan yang diperoleh dalam penjelajahan dasar Ci Tarum ini akan lebih lengkap bila membaca pula buku Wisata Bumi Cekungan Bandung (WBCB) terbitan Truedee Books. Di dalam salah satu bab buku ini dijelaskan mengenai lokasi bobolnya danau purba Bandung, sekaligus mematahkan mitos bahwa Sanghyangtikoro merupakan lokasi bobolnya danau purba Bandung.

Buku WBCB ini saya sebut "buku hybrid", karena isinya merupakan kombinasi dari panduan wisata dan sejarah geologi cekungan Bandung. Istilah cekungan digunakan untuk wilayah Bandung karena bila dilihat dari pegunungan di sekitar Bandung, dataran Bandung terlihat mirip mangkok. Ribuan tahun lalu, cekungan Bandung merupakan sebuah danau. Mirip bobolnya Situ Gintung, danau purba Bandung juga mempunyai sebuah titik yang menjadi sumber bobolnya danau, dan alirannya melewati Ci Tarum ini.

Selasa, 25 Mei 2010

Akibat Tertidur Saat Mengemudi

Mengemudi selama 15 jam tanpa istirahat bisa berakibat fatal. Apalagi pakai mobil nyaman seperti Peugeot 505 GR 1983. Hasilnya... menyeruduk pantat truk... Kecelakaan ini terjadi di Tol Cipularang menjelang pintu tol Buahbatu, Bandung, 4 Januari 2008 sekitar pukul 4.30, saat adzan subuh. Alhamdulillah, kami sekeluarga tak mengalami luka sedikitpun, kecuali istri, akibat tak memasang safety belt (saat itu sedang menyusui anak), dahinya membentur kaca depan, namun hanya benjol sedikit...
Mobil ditarik ke bengkel. Menurut mekanik, mobil bisa diperbaiki, tapi karena saya lihat dudukan per roda depan kiri berubah posisi, saya pikir tetap akan berpengaruh pada sistem kemudi. Akhirnya saya putuskan dijual sebagai besi tua. Lumayanlah buat tambahan dana cari Peugeot 505 GR yang baru. Setelah survei sana-sini, dapat 505 GR 1986.

Kamis, 25 Februari 2010

Perjuangan memasang Auxiliary Drive belt Peugeot 405 STi

Senin, 15 Februari 2010 sekitar pukul 10.00 Wib, saat hendak parkir di BCA Madiun, tiba-tiba terdengar bunyi mendecit dari ruang mesin, seketika warning light baterai di dashboard menyala. Saya segera buka kap mesin, cari sumber bunyi, lalu terlihat auxiliary drivebelt keluar dari relnya. Cek bearing pompa power steering, oke, tensioner juga oke, terus cek ke bawah, bagian pulley...nah ketemu sumber masalahnya. Ternyata karet bantalan pulley sudah hancur, sehingga pulley jadi goyang. Setelah longtrip Bandung-Madiun-Surabaya (speed 110 km/jam di tol Gempol)-Malang-Madiun, sang pulley akhirnya menyerah di Madiun.

Dengan sisa-sisa stroom pada accu, mobil bisa sampai juga ke rumah paman, yang untungnya masih di dalam kota. Mobil sudah aman, sekarang tinggal cari sparepart dan mekaniknya. Saya segera kontak bengkel PAS, Yogyakarta, pesan pulley dan auxiliary drivebelt, tapi PAS juga menyarankan ganti tensioner sekalian. Akhirnya sepakat untuk beli pulley, auxiliary drivebelt dan tensioner (2 buah), semua original, dana ditransfer lewat BCA, barang dikirim lewat TIKI 2 hari. Selesai satu masalah. Sekarang tinggal cari mekanik. Teringat oleh saya ada bengkel di Jl. Diponegoro Madiun yang pasang logo Peugeot, pikir saya mungkin bisa dipanggil ke rumah. Disinilah tahap perjuangan dimulai. Saya temui mekanik di bengkel itu, dan ia menyanggupi bekerja di rumah pada esoknya, Selasa, 16 Februari 2010 pukul 9.00.

Selasa, 16 Februari 2010 mekanik ini tak muncul pada jam yang sudah disepakati. Setelah satu jam menunggu, kesabaran saya habis. Saya telepon dia, alasannya masih mencari peralatan. Ditunggu-tunggu tetap tidak muncul dan tak memberi kabar. Akhirnya saya putuskan untuk mengerjakan sendiri. Baca service & repair manual Hayness yang sudah jadi kelengkapan mobil (ternyata ada gunanya juga dibawa kemana-mana). Hari itu juga pinjam penyangga bodi (jack stand?) dan dongkrak "buaya" dari tetangga paman. Pinjam satu set kunci allen (biasa disebut kunci L) segi enam dari tetangga paman lainnya. Setelah itu mulai bekerja: (1) melepas roda depan kanan; (2) melepas baut pengunci bearing drivebelt tensioner atas dengan kunci allen 6 mm dari atas karena lebih mudah; (3) melepas plastik pelindung lumpur; (4) melepas dudukan drivebelt tensioner bawah dengan kunci allen 6 mm. Saat melepasnya cukup mudah karena pegas tensioner dalam keadaan tidak meregang, sedangkan untuk memasangnya diperlukan alat khusus untuk meregangkan pegas; (5) melepas pulley. Nah disini ternyata diperlukan alat khusus untuk membuka mur pengunci pulley. Pekerjaan tertunda semalam karena hari sudah malam. Kiriman sparepart baru datang pada Rabu malam, 17 Februari 2010. Kamis pagi, 18 Februari 2010 mengorder bengkel las untuk membuatkan alat-alat khusus itu. Pembuka mur pengunci pulley dibuat dari potongan pipa yang diberi tangkai penahan kanan-kiri. Agar diameter pipa bisa pas, digunakan pulley baru sebagai mal. Sedangkan alat peregang pegas tensioner, menggunakan besi baja bekas untuk rangka beton, yang dibentuk dengan 3 titik penahan. Kamis sore, special tools selesai dibuat. Tapi ternyata mur pulley melekat sangat kuat, sehingga sulit dibuka. Pekerjaan ditunda karena sudah larut malam. Jum'at sore, 19 Februari 2010 mencoba lagi untuk membuka mur pulley dengan trik lain, dan berhasil.











Wuah melepas pulley perlu 5 hari perjuangan. Tak sampai 10 menit sparepart baru, penahan lumpur, dan roda sudah terpasang kembali.
Maksud hati ingin menikmati hasil perjuangan sampai ke Bandung malam itu juga, tapi karena badan sudah terlalu lelah, naik kereta api sajalah...

Jumat, 12 September 2008

KORPS MARECHAUSSEE, Pasukan khusus Belanda untuk operasi kontragerilya di Aceh

Di mata pejuang Aceh, marechaussee (baca: marsose) sangat dibenci, tetapi juga dihargai karena keberaniannya. Pasukan ini dibentuk pertama kali semasa Perang Kolonial Belanda di Aceh. Tugasnya adalah untuk melakukan operasi kontragerilya terhadap pejuang Aceh. Karena itu dianggap sebagai pasukan elite pertama yang dimiliki KNIL.

Salah satu kisah tersohor mereka adalah peristiwa kontak senjata dengan pasukan Teuku Umar yang berakhir dengan gugurnya pahlawan kita tersebut. Malam 10 Februari 1899, Letnan J. J. Verbrugh menempatkan detasemen Marsosenya di bawah pohon-pohon di pantai Meulaboh. Mereka ditugaskan untuk memasang jebakan terhadap Teuku Umar yang menurut laporan mata-mata akan melewati tempat tersebut. Sudah hampir 6 bulan lamanya unit-unit Marsose menjelajah rimba dan berkubang di rawa-rawa di pesisir barat dalam mengejar salah satu pemimpin perlawanan Aceh yang terkenal ini.

Setelah beberapa jam menanti, Verbrugh melihat serombongan besar orang Aceh bersenjata campuran menuju ke posisi pasukannya. Jumlahnya ditaksir lebih dari seratusan orang. Para Marsose menunggu barisan terdepan rombongan tersebut memasuki jarak tembak karaben Beaumont mereka. Sementara itu, orang-orang Aceh tidak melihat musuh telah bersiap di depan mereka. Tiba-tiba pada jarak sekitar 100 meter dari posisi Marsose, terdengar letusan serempak karaben Marsose. Rombongan orang Aceh itu masuk perangkap pasukan musuh. Karena panik, rombongan tersebut menjadi kacau-balau, lalu mundur tak teratur sambil melepaskan tembakan balasan secara serampangan. Penghadangan tersebut ternyata menelan korban di pihak Aceh. Terlihat beberapa orang roboh, sedangkan di pihak Marsose tak seorang pun terluka ataupun terbunuh.

Malam itu juga Verbrugh membawa pasukannya kembali ke induk kesatuannya. Ia tak berniat memburu lawannya yang mengundurkan diri itu karena medan tak menguntungkan di samping kalah jumlah. Beberapa hari kemudian diketahui bahwa dalam penghadangan 10 Februari malam tersebut, di antara korban gugur di pihak Aceh terdapat nama Teuku Umar, orang yang paling dicari-cari Belanda dan telah dijejaki selama berbulan-bulan oleh pasukan Marsose. Peristiwa itu dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Marsose.

Pembentukan Korps Marechaussee
Sejak perlawanan gerilya dilancarkan pejuang Aceh, Belanda tidak mempunyai kontrol atas situasi di Aceh, terlebih ketika sistem lini konsentrasi diterapkan. Awal upaya tentara Belanda untuk mengatasi aksi gerilya baru diadakan pada masa lini konsentrasi. Pada 30 Oktober 1889 dibentuk 2 detasemen “pengawal mobil” untuk melakukan patroli di sepanjang lini. Satu detasemen ditempatkan di Keutapang Dua dipimpin oleh Letnan Satu I. M. van de Ende, dan satu detasemen ditempatkan di Lam Peuneurut dipimpin oleh Letnan Dua M. Neelmeyer. Kedua detasemen ini merupakan cikal bakal Korps Marechaussee yang dibentuk 6 bulan kemudian.

Sementara itu, kehandalan kedua detasemen tersebut dan kegigihan gerilyawan Aceh melahirkan kekaguman dan inspirasi pada Mohamad Sjarif, komisaris di kantor Gubernur Sipil dan Militer Aceh, mantan jaksa di Kutaraja kelahiran Minangkabau. Mohamad Sjarif menyarankan kepada pemerintah Belanda supaya membentuk sebuah unit yang terdiri atas orang-orang yang gagah berani, mampu bertempur dan berkelahi sedemikian dekatnya dengan lawan hingga bisa menatap putih mata lawannya.

Gagasan tersebut disambut oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh dengan membentuk satu divisi kesatuan khusus bernama Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden (Korp Marsose Aceh dan daerah takluknya) pada 2 April 1890 dengan komandan yang pertama dijabat oleh Kapten G. G. J. Notten. Di antara kesatuan-kesatuan KNIL lainnya, Marsose dikenal memiliki keunikan. Kata “marechaussee” sendiri berarti polisi militer. Tetapi, tugas unit ini bukan sebagai provost atau semacam dinas keamanan internal KNIL, melainkan sebagai unit tempur darat seperti kesatuan infantri lainnya. Sebab, Marsose di bawah perintah langsung Gubernur Sipil dan Militer yang mempunyai kekuasaan kepolisian (sipil) dan militer.

Selain itu, struktur organisasi Marsose lebih ramping, hanya terdiri atas 4 tingkatan satuan. Namun, tingkatan dan urutan satuan pada masa itu berbeda dengan susunan organisasi militer pada masa kini.Tingkatan satuan tertinggi adalah Korps, dipimpin seorang kolonel. Di bawahnya adalah Divisi, dipimpin oleh seorang kapten. Di bawah divisi adalah Kompi, dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan dua, atau satuan setingkatnya, Detasemen, yang dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan dua. Terakhir, tingkatan satuan terendah adalah Brigade, dipimpin oleh seorang bintara/sersan dengan jumlah anggota berkisar 10-12 orang (pada masa kini setara dengan regu).

Hingga tahun 1904, Korps Marechaussee memiliki 6 divisi yang tersebar di beberapa tempat di wilayah Aceh Besar. Setiap divisi terdiri atas 4 kompi, dan setiap kompi terdiri atas 4 brigade.

Keunikan lainnya adalah anggota Marsose merupakan orang-orang pilihan dari KNIL, dan sebagian besar adalah bumiputra. Anggota dari kalangan bumiputra ini biasanya direkrut dari etnis di wilayah yang telah ditaklukkan oleh Belanda, misalnya Ambon, Menado, Jawa, Sunda, dan Timor. Meskipun mayoritas anggota adalah kaum bumiputra, namun dalam sistem kepangkatan, KNIL mengikuti kebijakan penggolongan penduduk di Hindia Belanda yang diskriminatif. Di Korps Marsose ini, bumiputera hanya dapat mengisi posisi bintara (sersan) dan tamtama (prajurit), sedangkan orang Belanda, Eropa dan Indo-belanda menempati posisi tamtama, bintara dan perwira. Meskipun demikian, suasana pergaulan antar anggota tidak menjadi diskriminatif secara ras, tetap hanya secara golongan kepangkatan.

Setiap anggota Marsose harus memiliki keahlian khusus dan kemampuan individual yang tinggi. Sebab, kemampuan tersebut sangat diperlukan dalam patroli-patroli mobil, terlebih ketika sistem Lini Konsentrasi dihapuskan pada tahun 1896, Marsose sering harus melakukan patroli-patroli jarak jauh menembus hutan belantara atau menyusuri rawa dan pantai untuk menjejaki para pemimpin perlawanan Aceh. Karena diperlukan mobilitas yang tinggi, maka setiap orang harus membawa perbekalan dan memasak makanannya sendiri. Kemandirian ini yang membedakan Marsose dengan kesatuan lainnya. Dalam operasi militer gabungan, sering dijumpai sebuah situasi, pada saat anggota pasukan infantri marah-marah karena barisan tukang masak dan pembawa perbekalan tertinggal jauh, para Marsose sedang memasak makanan mereka. Di samping itu, umumnya para perwira Marsose mampu berbahasa Aceh lengkap dengan dialeknya. Kemampuan berbahasa daerah mutlak diperlukan untuk menggali informasi dari masyarakat.

Selain itu, kesatuan Marsose ini mendapat perlengkapan dan persenjataan yang agak berbeda dengan kesatuan KNIL lainnya. Setiap orang dipersenjatai dengan sepucuk senapan tanpa bayonet, tempat peluru, sebilah kelewang serta diperlengkapi dengan ransel perbekalan. Sejak tahun 1890, kesatuan Marsose sudah dipersenjatai dengan karaben Beaumont Mk I, sejenis senapan repetir (repeater) yang mempunyai tempat peluru berselongsong (magasen). Saat itu Beaumont adalah sejenis senjata modern yang baru dimiliki oleh KNIL. Kesatuan reguler KNIL lainnya pada saat itu masih menggunakan senapan lantak. Kemudian, sejak tahun 1896, kesatuan Marsose mengganti helm besi yang tidak praktis dengan topi rimba dari anyaman bambu. Kelak, topi rimba ini menjadi trend di kesatuan infantri KNIL lainnya.

Sistem pelatihan anggota dibuat sedemikian rupa supaya Marsose mampu melakukan kontragerilya. Setiap anggota Marsose dilatih perkelahian jarak dekat dengan menggunakan kelewang. Latihan ini membuat anggota Marsose umumnya mahir menggunakan pedang atau floret. Kondisi fisik dan stamina mereka juga dibentuk dengan kuat karena mereka harus melakukan patroli jalan kaki jarak jauh. Di samping itu, keahlian membaca jejak pun terus diasah karena diperlukan untuk menjejaki lawan hingga ke sarangnya.

Untuk menumbuhkan kebanggaan pada para Marsose, maka diciptakan simbol-simbol kesatuan, seperti lambang kesatuan dan panji kesatuan. Kesatuan ini memakai lambang trisula berwarna kuning emas yang disematkan pada kraag (kerah) seragam. Orang-orang Aceh menyebutnya dengan “Tiga Jari”.

Para Marsose sangat bangga dengan Korpsnya tersebut. Tidak hanya karena keunikan yang mereka miliki, tetapi juga karena prestasi gemilang dan kisah-kisah keberanian dalam pertempuran turut mengharumkan nama Korps ini. Kebanggaan ini menjadikan kesatuan ini sangat solid dan akan melekat hingga para Marsose pensiun dari dinas militer. Terlebih bagi mereka yang pernah bertugas di Aceh. Pengalaman bertugas di Aceh sangat membekas dalam ingatan veteran Marsose karena beratnya medan perang dan lawan yang harus mereka hadapi. Sering para veteran Marsose ini dalam merayakan ulang tahun Korps Marsose setiap 2 April menghadirkan suasana Aceh untuk bernostalgia, dengan sengaja menyajikan menu hidangan khas Aceh.

Peranan Korps Marechaussee dalam Perang Kolonial di Aceh
Sejak dibentuk pada 2 April 1890 hingga 1896, Marsose lebih banyak bertugas di sekitar Lini Konsentrasi karena periode tersebut masih dalam kebijakan defensif yang berkonotasi menunggu para pejuang Aceh menyerahkan diri ke benteng-benteng di sepangjang lini. Peranan yang lebih luas mulai diberikan pada tahun 1896, ketika sistem Lini Konsentrasi dihapuskan setelah Teuku Umar kembali melawan Belanda. Sejak itu marsose melakukan aksinya secara sistematis menurut kebijakan perang kolonial. Kebijakan dalam perang kolonial di Aceh banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje berpendapat bahwa gerakan perlawanan Aceh bersifat tradisional, karena hanya bisa timbul jika dipimpin oleh tokoh masyarakat dari kalangan bangsawan atau pun ulama dan cakupannya lokal. Untuk mematahkan gerakan perlawanan itu, maka pemimpin perlawanan harus dipisahkan dari tubuh kelompoknya.

Karena itu untuk mendapatkan pemimpin perjuangan Aceh, unit-unit marsose bisa selama berbulan-bulan mengejar dan menjejaki kelompok itu. Sering terjadi bahwa akibat tidak tahan dikejar-kejar akhirnya beberapa tokoh pejuang Aceh terpaksa menyerahkan diri. Namun, sering pula para pejuang Aceh memilih berkelahi sampai gugur saat pertempuran dengan unit-unit marsose tidak terelakkan lagi. Berbagai prestasi tersebut mengangkat nama Korps Marechaussee dan menempatkannya sebagai kesatuan elite di jajaran KNIL dan di mata masyarakat Belanda.

Namun tidak semua tindakan Marsose disukai masyarakat Belanda. Sebuah operasi militer dianggap melewati batas, bahkan sebagian masyarakat Belanda menilainya sebagai kekejaman yang memalukan umat manusia di abad ke-20. Operasi militer tersebut dilakukan oleh sebuah pasukan ekspedisi Marsose bernama Kolone Macan pimpinan Letnan Christoffel di daerah Pidie pada tahun 1904.

Peristiwa yang berlangsung di tengah-tengah gencarnya pelaksanaan Politik Ethis itu segera mendapat sorotan dan kecaman dari masyarakat di negeri Belanda. Peristiwa itu dirasakan sangat bertentangan dengan semangat ethis yang ingin mengangkat nasib bumiputera, sementara di saat yang sama pembantaian bumiputera dilakukan di Aceh.

Penyelidikan yang dilakukan akhirnya menyeret dua orang perwira pertama ke hadapan oditur. Proses pengadilan itu rupanya tidak memuaskan salah seorang perwira itu, karena penanggung jawab operasi itu, Kolonel Van Daalen, tidak diadili. Meskipun keputusan pengadilan membebaskan kedua perwira itu dari tuduhan, namun mereka merasa karir militer mereka tidak ada harapan lagi.

Meski dalam komposisi pasukan marsose terdapat unsur pribumi, tetaplah sebagian besar bangsa Indonesia memandang Korps Marsose dibentuk untuk mendukung politik penjajahan. Karena itu banyak pejuang Aceh yang melakukan perlawanan keras terhadap tentara Belanda. Keandalan dan keberanian gerilyawan Aceh dalam pertempuran memang sudah diakui pihak Belanda. Dalam aksinya, gerilyawan Aceh sering melakukan penyerangan terhadap patroli-patroli Belanda dan melakukan perkelahian jarak dekat, dan setelah itu menghilang kembali ke hutan, kadang sambil membawa senjata rampasan dari patroli yang dikalahkan. Korps Marechaussee merupakan salah satu alat kebijakan Belanda dalam mengontrol situasi keamanan di Aceh, sehingga Belanda pada akhirnya dapat mengurangi perlawanan besar bersenjata dari pejuang Aceh. Tetapi perlawanan kecil yang bersifat sporadis tetap berlangsung sampai berakhirnya kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda pada tahun 1942. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Belanda tidak pernah menginjakkan kakinya kembali di Aceh.

(Dari berbagai sumber)